5.15.2016

A Happy Note :)

Cho, time passed.
Almost 2 years passed, of course we've changed.
We are no longer have feelings as a lover, for sure. I am happy with that, and so are you.
You stepped forward, take a big step in your life, marriage is ahead.
I am really happy for you, for her. I am happy that you finally found someone who could love you with all her heart. Someone who could treat you really well. Someone that you need. Someone that you've been looking for.
We are not, and never will be, meant to be together. I am happy with that. But us, will keep being us. You can't hide and deny that 'us' was exist. Yes, it was. I am happy for that, because we no longer are, but were.

Cho2, thank you.
I will always keep feel thankful for had you, 7 years, even 9 years in my life. We learned a lot, we were happy a lot, we cried a lot, we fought a lot, we were fall into deepest hole, then we crawled back to the top of the world. Now, we crawl for our own dreams. I have mine and you have yours. Thank you for those years, love, hate, lesson, arguments, tears, happiness, joy, anger, everything. We have passed those, but our path will never crossed, no matter what. I called it a destiny. Thank you for built me this way as this second.

Cho2, sorry.
Sorry for treated you so cruel, so bad, so mean, so selfish, and more. You are a good man, if you're not, you must be dumped me already, may years ago, but you weren't. I was a super jerk. A good man deserved good woman, and there she is. She is the best that God gave to you. You deserved her. I am happy you have her.

Cho2, congratulations.
You finally got what you've been dreaming for a long time. You finally will got married. You finally will have someone who could always listen to you, cook for you, have a good religion, nice, and I guess she have all you need in a package as a woman. Your parents finally completed their job. Your nieces finally will have a real aunt. Oh my God, you finally will be someone's husband! :D

You know, people think that I will be sad knowing that you will get married on May 22nd 2016.
You know, I am not. I am not sad at all. I am happy. With all my heart, I am happy for you and Arin :)

Cho, let's keep be friends.
However, we know each other for a long time. Let's make ourselves a high school mate, and campus mate. No need to call "ex" to each other. We are friend, best friend. I don't hate you at all. Hope you don't hate me either. You are not different from Icrudh and I am not different from Arif, perhaps, if we would like to make an comparison. We have a good relationship, okay. Let's don't screw with that.  I don't have any love feelings, and I don't want you back in my life as a lover. Mine is more than enough, and so is yours, I assumed.

Cho2, wish you happily aver after!
hug for both of you, send my love to your warm family..

XOXO
 

9.14.2015

Paradoks

Hidup saya berubah. Kehidupan percintaan saya berubah total.
Oh ya jelas, karena orangnya juga berbeda.

Saya nggak benci, pun dendam. Saya nggak cinta lagi, pun berharap. Mungkin jadi membandingkan, tapi saya cuma sedang merasakan dan mensyukuri betapa berubahnya kehidupan saya sekarang.

Dulu, saya nggak tiap hari ketemu, tapi ketika bertemu, apa yang dibicarakan adalah hal-hal lain yang kadang diulang-ulang saja, bukan lagi tentang saya dan dia, bahkan terkadang blank mau membicarakan apa. Padahal ada hari-hari tanpa jumpa yang harusnya bisa berubah jadi kata-kata. Tapi ternyata tidak. Rasanya sudah tidak penting diceritakan karena rasanya akan menjadi tidak menarik untuk didengarkan. Selebihnya, hanya kecup, peluk, peluh, nafsu. Membinatang.

Sekarang, saya bisa bertemu setiap hari, dengan waktu yang rasanya selalu tidak cukup untuk berbincang. Benar-benar berbincang, bicara, tanpa dunia maya diantara saya dan dia. Bicara tentang dunia yang tidak hanya itu, bicara sesuatu yang sama-sama baru diketahui, tentang hari-hari pagi hingga sore hari. Bahkan saya merasa sangat baik-baik saja tanpa harus ada kecup, peluk, peluh, nafsu. Memanusia.

Dulu, terlalu banyak emosi dipendam. Merasa diacuhkan, merasa tak didengarkan, merasa tak diperhatikan, merasa tak dicinta sebagai manusia perempuan yang selayaknya. Pernahkah dia merasa begitu? Pernahkah dia berfikir bagaimana rasanya dirayu ketika nafsu, dicari ketika birahi, tetapi ketika tidak, didepak? Saya merasa sampah, seandainya dia tau. Oh enggak, saya menulis ini bukan karena saya sedang bahagia dengan yang baru lantas menjelekkan dia. Apa yang saya rasa ini, sudah berlangsung lama. Dan sekarang, dia masih saja begitu. Mencari ketika birahi. Tahik. Kenapa nggak dia cari saja masa kini-nya? kenapa harus berbalik pada saya? Apa saya di mata dia?

Sekarang, saya bisa mengekspresikan apapun. Senang, sedih, marah, kecewa. Saya merasa sangat disayang sebagai manusia perempuan yang selayaknya. Dia cari saya kapanpun, bukan hanya kalau sedang ada maunya. Selalu ada canda dibalik rayunya, nggak membosankan. Saya merasa berharga. Saya merasa dijaga dan dilindungi, bukan dieksplor, seandainya dia tau. Oh enggak, saya menulis ini bukan karena saya sedang bahagia lantas menjunjung dia. Apa yang saya rasa ini, sudah berlangsung lama. Dan sekarang, dia masih saja begitu. Menjaga, menyayang, melindungi, berbagi. Asik. Dan saya merasa dihargai dengan baik. Itu yang tak bisa ditampik.

Dulu, saya selalu gelisah ketika tak ada kabar barang sebentar. Rasanya bersalah sangat ketika lambat membalas pesan singkat.Saya hampir tak lepas dari telepon genggam, sepanjang hari.

Sekarang, saya biasa ditinggal berhari-hari tanpa kabar. Rasanya bahagia ketika tetiba ada pesan singkat. Saya bisa pergi tanpa membawa telepon genggam. Sepanjang hari. Saya merasa bebas.

Dulu, saya rasanya ragu mengungkap apa yang saya mimpikan. Rasanya sepeti ditentang. Rasanya semua dipertanyakan. Rasanya semua hanya bisa jadi angan-angan tanpa bisa jadi nyata.

Sekarang, saya rasanya ingin semua orang tau mimpi-mimpi saya. Rasanya diberi dukungan. Rasanya semua bisa digenggam. Rasanya semua bisa terwujud datu persatu menjadi nyata.  

Dulu, rasanya orang tua saya sangat ramah kepada dia, mengizinkan dia untuk ikut bergabung dalam acara keluarga. Rasanya selalu tak mengapa pulang tengah malam dengan dia.

Sekarang, rasanya orang tua saya ragu untuk ramah dengan dia, hanya dirumah saja kadang disinggung agar pulang. Rasanya baru jam 9 malam saja sudah disuruh pulang.

Dulu, tidak sedikit teman-teman yang bilang saya terlihat tidak bersemangat, terlihat suram, terlihat tertekan, dan jahat.

Sekarang, tidak sedikit teman-teman yang bilang saya terlihat lebih hidup, terlihat menjadi diri-sendiri, terlihat bebas, dan bahagia.

Semoga memang benar. Untuk bahagia, terkadang saya memang harus bersedih. Untuk bisa menjadi baik, harus tau dulu mana yang buruk. Untuk bisa menjadi lebih hidup, harus tau dulu rasanya terpuruk.

7.21.2015

rindu rumah

Bukan rindu pulang ke rumah, karena saya selalu di rumah, nggak merantau.
Saya rindu rumah yang dulu.
Yang nggak ada bentak-bentak, yang nggak ada banyak tangis anak-anak, yang nggak ada adu argument, yang nggak ada pukul memukul.
Saya rindu nonton TV di ruang tengah bersama-sama semua anggota keluarga. Sekarang saya sudah nggak suka nonton TV karena acaranya tolol-tolol.
Saya rindu jalan-jalan dengan semua anggota keluarga, tanpa harus mengomel karena menunggu kakak saya yang leletnya minta ampun.
Saya rindu rumah yang tenang tanpa ada yang teriak-teriak, bentak-bentak, marah-marah, tangis-tangis, keluh mengeluh, rengek merengek.
Saya rindu merasa pulang ketika ada dirumah.
Saya rindu bersandar di paha ibu saya sambil nonton TV, dan kakak saya di paha ibu saya yang sebelahnya
Saya rindu bikin kue lebaran bersama ibu dan kakak-kakak ketika menjelang Idul FItri
Saya rindu masukin beras ke dalam ketupat sampai berasnya nempel-nempel di badan saya.
Saya rindu main video game di rumah bersama kakak-kakak, gantian.
Saya rindu saya yang nggak terus merasa kesal dengan kakak saya.
Saya rindu saya yang nggak bersikap sinis dirumah
Saya rindu merasa damai di rumah
Sungguh, saya rindu merasa pulang. Padahal saya nggak kemana-mana. Kemana perasaan pulang itu?

7.20.2015

masih baca?

Past is past, and it will never be the present nor the future.

Saya selalu merasa lucu kalau ada orang dari masa lalu saya yang mengungkit tentang apa yang sudah kita lewati tapi masih dengan penuh perasaan. Buat saya, masa lalu itu hanya untuk diingat, dipelajari, bahkan kadang ditertawakan . Bukan untuk dikenang lalu ditangisi, apalagi diulang.

Yang lebih lucu adalah, ketika ada orang baru di masa lalu saya yang terlampau ingin tau tentang saya yang sudah jadi masa lalu dari apa yang dia miliki sekarang. 
Mau cari apa? 
Cari bahan celaan? 
Cari celah untuk tau apakah saya masih mengharap atau tidak?  
Cari celah untuk menyindir saya ketika saya ngetwit tentang sebuah tanggal? 
As you know, what you’ve been doing is useless. 
Nggak guna. 

Saya udah punya masa depan yang baru, which is lebih realistis
 Saya nggak mau kembali ke masa lalu yang dengan penuh sadarnya saya tau bahwa nggak lebih baik dari apa yang saya punya sekarang.
 Saya udah nggak peduli dengan apa yang kalian lakukan, itu hidup kalian.

Jadi buat apa kamu masih peduli dengan apa yang saya lakukan? 
Buat apa saya harus jaga apa yang saya post for the sake of your relationship? 
I don’t care, it’s my right to post what I’m thinking.
The only one thing that you need to care about is your own life. Not mine. Not other's.

Makin saya tau kamu begitu, makin saya akan menghantui hidup kamu. Dan akan semakin benci kamu dengan saya. Padahal saya nggak ngapa-ngapain hidup kamu.

Selamat baca deh, kalo kamu masih baca.


7.14.2015

Menertawakan Masa Lalu

Lucu

Betapa saat ini gue bisa banget menertawakan masa lalu. Apapun itu. Have you?
Pernahkah lo menertawakan masa lalu lo sendiri?
Menertawakan ketika inget ada yang bilang "I Love You" ke gue pas TK
Menertawakan betapa gue suka surat-suratan curhat sama sahabat gue pas SD
Menertawakan betapa gue dulu suka banget sama seorang cowok yang jadi idola di SD
Menertawakan betapa gue dulu pake baju gede banget pas SMP
Menertawakan betapa gue dulu pacaran sama ketua kelas pas SMP, dan segala konfliknya. Even sekarang, gue dan dia bisa ngakak-ngakak ketika ngomongin masa itu.
Menertawakan saat pertama kali gue bertengkar dengan sahabat gue sendiri, yang bikin dia hampir jatoh di kamar mandi
Menertawakan betapa malunya gue pas SMP karena punya pacar tukang tawuran, ditampar guru di tengah lapangan.
Menertawakan gue dulu Drop Out dari kelas akselerasi pas SMA
Menertawakan segala kegiatan contek-mencontek dan ketauan
Menertawakan ketika punya pacar yang umurnya lebih tua 2 tahun dari gue dan gue lebih galak dari dia
Menertawakan ketika pertama kali kenalan sama temen sekelas yang kemudian punya hubungan dengan gue dari kelas 2 SMA sampai 2014
Menertawakan betapa sempitnya Kota Bogor, kesana kemari orang kenal si A atau si B
Menertawakan kegoblokan masa kuliah yang berturut-turut
Menertawakan betapa desperate-nya hidup gue sekitaran tahun 2010 - 2011
Menertawakan betapa berantakannya hidup gue ketika itu
Menertawakan betapa gue cuma jadi cadangan pas turnamen basket
Menertawakan betapa orang yang lama banget di samping gue ternyata bisa pisah gitu aja
Banyak

Betapa gue menjadi gue yang sekarang berbekal apa yang gue tertawakan sekarang itu. Manusia belajar, dari yang baik dan buruk. Dari yang benar dan salah. Dari yang tinggi dan rendah.

Masa lalu gue, 24 tahun gue ke belakang, adalah hidup terbaik yang diberi Tuhan untuk membentuk gue yang sekarang. Dan mungkin, 10 tahun kemudian, gue bisa aja menertawakan diri gue sendiri karena mengingat gue nulis post ini pas lagi nggak ada kerjaan banget, H-2 Lebaran tahun 2015 sambil dengerin lagunya Alm. Benyamin S. dan Warkop DKI.

Life is super unpredictable
You will never know when you are gonna get flying really high, or damnly sucked. 
Every moments in our life made us
Every people around our life also made us

But for now, all lI know is how to enjoy my current life
All I know is how to thank God for what I've been through 
All I know is how to get better and not rewinding the bad moments
All I know is how to be a better human, for everyone around me 


Betapa gue sudah berdamai dengan masa lalu ketika gue sudah bisa menertawakannya. 

2.07.2015

teman

Saya terbiasa dengan lingkungan yang kalau kata orang “kota”. Saya tinggal di perumahan dari sepanjang yang saya mampu mengingat. Teman-teman saya di rumah semuanya sekolah, setidaknya sampai SMA, tapi sangat banyak yang sampai univesitas. Ya, mungkin belum ada yang sampai merasa S2 adalah sesuatu yang perlu. Tapi sepanjang yang saya tau, teman-teman saya di rumah juga anak-anak “kota”.

Saya sekolah SD yang jauh sekali dari rumah, di tengah kota, tapi nggak kota-kota amat. Bukan SD terpencil yang orang nggak tau, walaupun mungkin bukan yang terbaik. Teman-teman saya dari penjuru kota, banyak yang lebih kota tapi nggak sedikit yang nggak segitu kota-nya. Jaman SD, saya nggak membedakan teman, kecuali yang memang nyebelin atau yang memang jahatin saya dan teman dekat saya. Saya main lompat karet, saya main BP, saya main monopoli, saya main bola bekel, saya main congklak, saya main tamagochi (walaupun nggak punya), saya main PlayStation (dirumah tetangga), saya punya Nintendo di rumah, saya main ampar-ampar pisang, saya bahagia menjadi anak-anak pada masa itu. Saya nggak membedakan mana mainan kota dan mana mainan tradisional (apakah tradisional berarti nggak kota? Entahlah). 6 Tahun, kemudian teman-teman saya melanjutkan SMP. Sejauh dan sebanyak yang saya ingat, semua teman-teman saya melanjutkan SMP (semoga bener).

Saya sekolah SMP nggak jauh dari rumah. Kadang, ada persepsi yang menganggap sekolah dekat rumah berarti sekolahnya di kampong. Helloooo, rumahnya dimana dulu nih. Definisi dekatnya bagaimana? Rumah saya nggak pindah, tetap di perumahan, tapi sekolah saya daerahnya nggak jauh dari situ. Tetap kota, kalau boleh congkak. Salah satu sekolah favorit. Ya, mungkin 5 besar incaran anak-anak se Kota Bogor, atau mungkin 3 besar. Pada saat itu ya, entah sekarang, saya nggak update tentang sekolah SMP. Di sana saya mengenal lebih banyak unsur “kota” dari teman-teman satu sekolah. Handphone (itu 2005, masih belum terlalu banyak anak yang pegang handphone di sekolah) adalah trend yang kadang menandai bukan Cuma mana si kaya dan si biasa-biasa saja (nggak boleh bilang kalau orang itu miskin), tapi juga mana si gaul dan mana si kutu buku. Saya, tahun pertama sepertinya termasuk yang dipersepsikan orang sebagai kutu buku, padahal enggak, saya bukan kutu, Cuma suka buku. Banyak anak-anak yang mulai pacaran. Banyak kakak-kakak kelas yang bawa motor kadang, padahal masih cere. Banyak teman yang mulai jadi anak band. Ya, sewajarnya anak SMP lah. Saya juga mulai pacaran pas SMP, terus pacarnya tawuran, digampar guru olahraga di tengah lapangan. Hahaha malu-maluin. Mulai galau pas SMP karena mulai tau rasanya sayang sama orang lain dan rasanya ditinggal orang lain. Saya suka bawa Walkman (pemutar lagu yang pakai kaset) merk Sony ke sekolah. Gaul kan. Kasetnya Savage Garden, atau Linkin Park (pinjem punya temen) atau apa aja yang ada di rumah, punya kakak. Saya mulai gila basket sejak SMP. Saya sudah suka dari SD, tapi nggak ada lapangan, nggak ada ekskul untuk basket pas SD, makanya makin menjadi-jadi pas ikut ekskul. Tapi jangan kira saya jago. Haha enggak sama sekali! Yang jelas, setelah SMP, sebagian besar teman-teman saya juga melanjutkan ke SMA. Setau saya, hampir semuanya.

Saya sekolah di SMA yang jauh juga dari rumah. Ini lebih kota lagi, di tengah peradaban kota. Saya masuk SMA ini lewat jalur tes akselerasi, disuruh mama. Awalnya saya nggak mau, tapi disuruh coba terus, ya akhirnya mau nggak mau saya ikutan tesnya, dan lolos. Sama sekali nggak pernah terlintas kalau saya akan lolos tes akselerasi. Tau nggak kelas akselerasi itu apa? Kelas yang SMA-nya Cuma 2 tahun. Enak? Boleh sih bilang enak, kalau belum pernah nyoba belajar di dalamnya. Memadatkan materi 3 tahun untuk 2 tahun, gimana? Masih mau bilang enak? Haha. Saya mati-matian ngejar nilai, saya termasuk 5 terendah di kelas. Saya merasa nggak sanggup. Sungguh, anak-anak kelas akselerasi itu ajaib sekali pola pikirnya. Kapan-kapan saya ceritain yang lebih detail. Setelah 1 tahun, saya ternyata harus DO, alias Drop Out, karena nilai saya nggak memenui standar kelas yang nilainya di atas kelas regular. Saya pindah ke kelas regular. Ketemu teman-teman baru, ketemu teman SMP dulu, ketemu beberapa teman SD juga. Yang jelas, lingkungan SMA saya sangat kota, lebih kota dari 2 sekolah sebelumnya. Ya iyalah, namanya juga udah gede kan. Awal-awal saya rasanya kayak mengulang apa yang udah pernah saya dapat di kelas aksel, tapi lama-lama saya jadi anak malas. Saya terlalu pengen main. Saya lebih banyak pilih main basket. Saya sering keluar malam Minggu sama teman-teman aksel. Merokok, Nongkrong sampai pagi, pergi pakai mobil, nginep di rumah teman. Tapi hey, sebandel-bandelnya saya, saya nggak pernah minum minuman beralkohol ataupun make narkotika. Tapi saya mulai kecanduan merokok sejak SMA. Kata teman-teman dekat saya pas SMP, sekolah saya itu sekolah gaul. Entah apanya. Mungkin anak-anaknya. Mungkin gaya berpakaiannya (SMA saya terkenal rok-nya pendek-pendek dan bajunya ngetat-ngetat). Mungkin pergaulannya. Mungkin tongkrongannya. Mungkin karena banyak yang pakai mobil. Tapi nggak terkenal gaul karena pinternya. Hahaha. Saya nggak kenal satu angkatan. Bukan, bukan nggak kenal semuanya satu angkatan, tapi nggak semuanya saya kenal. Banyak yang saya tau, tapi saya selalu merasa mereka nggak tau saya. Karena saya nggak cukup gaul untuk dikenal di kalangan anak-anak gaul. Saya nggak tau apakah mayoritas pada lanjut kuliah atau malah justru lebih banyak yang nggak kuliah. Saya nggak tau. Yang pasti, saya termasuk yang kuliah.

Saya kuliah di pinggiran kota, tapi kampus terbaik di Kota Bogor, katanya. Ya pokoknya reputasinya selalu bagus di mata orang tua. Dan satu Indonesia pasti tau kampus saya (sombong!!) Namanya juga salag satu kampus tertua, dan namanya sangat familiar dimana-mana. Bahkan seperti ada prestis sendiri (buat segelintir orang, tapi kayaknya gelintiran besar) ketika menyebut mereka kuliah di mana. Saya? Biasa aja. Kampus saya memang berprestasi, terkenalm bereputasi baik sekali, sangat dipertimbangkan, disegani juga. Tapi saya, buat saya kampus ini ya kampus aja. Perkuliahan saya suram di tengah-tengah. Awal-awal seru, ya namanya jua lingkungan baru. Tahun 2010, 2011, 2012 adalah tahun-tahun suram dalam hidup saya, dalam hisup perkuliahan dan hisup percintaan saya. Drop point saya kalau boleh saya bilang. Drop dead. Hampir ingin bunuh diri. Untung saya masih pinteran dikit. See? Kampus yang diklaim terbaik nggak selalu membuat civitasnya merasa baik pula.  Tapi saya tau lingkungan saya adalah lingkungan yang sangat baik-baik. Teratur, rapi, santun, formal, sangat akademis. Saya terdidik juga dengan lingkungan seperti itu, walaupun lebih banyak nggak pedulinya. Tapi lingkungan kampus ini adalah lingkungan “terpelajar”. Lulus kuliah, saya masih bekerja di kampus, dengan lingkungan yang lebih formal.

Saya bekerja di rektorat kampus. Pernahkah terbayang, anak yang kuliahnya sering bolos, ujian aja lupa, sering kabur-kaburan, lulusnya telat, ipk nggak nyampe 2.5, sekarang jadi staff di rektorat. Di bawah pimpinan Wakil Rektor. Mondar mandir di rektorat. Harus bercengkrama dengan dosen-dosen dari banyak departemen dan fakultas. Bahkan harus mengunjungi instansi pemerintahan. Nggak, bukan Cuma instansi pemerintaha, tapi mengunjungi kementerian (ya bukan ketemu dengan Menteri siih). Membuat surat resmi, dengan kop surat universitas yang rasanya dulu sangat-sangat formal, sekarang jadi keseharian. Meminta tandatangan dosen aja dulu susah, sekarang bolak balik minta tanda tangan wakil rector, bahkan saya sendiri yang pakai langsung cap universitas untuk legalisir surat. Bahkan sekarang saya yang dicari dosen-dosen untuk memperlancar perizinan penelitian mereka. Betapa hidup nggak pernah terduga kan.

Tapi di luar sana, banyak teman-temannya teman-teman saya yang ternyata, mungkin, kurang beruntung. Atau apakah mereka lebih beruntung dari saya? Ya, seorang teman pernah bercerita kalau teman-teman SMP nya nggak ada yang bener. Ada yang jadi tukang parir, ada yang di Telkomsel, ada yang jadi kurir narkoba, ada yang hamil duluan, ada yang udah janda gara-gara suaminya tidur dengan perempuan lain yang juga temennya sendiri, ada yang di leasing, ada yang…ya banyak lah. Tapi mungin menurut beberapa bagian orang, pekerjaannya “nggak kota”. Kadang saya berfikir betapa sangat beruntungnya saya karena besar dan berkembang di lingkungan yang nggak seperti itu, lingkungan yang “baik-baik”.

Ah, tapi baik di mata setiap orang kan beda. Bisa jadi, sebenarnya, apa yang sekiranya baik adalah sebenarnya tidak lebih baik dari yang dipandang tidak baik. Teman mavam apapun yang kita punya adalah guru terbaik. Teman yang berkelakuan baik menjadi contoh, pun yang berkelakuan buruk, menjadi contoh untuk tidak dicontoh. Karena baik atau tidaknya sesuatu harus ada contohnya. Saya nggak bilang bahwa semua teman-teman saya adalah anak baik-baik, dari ligkungan “kota” yang modern. Kamu tahu, semakin modern manusia, kadang pergaulannya semakin mengerikan. Saya mungkin memang nggak punya teman yang sudah jadi janda karena mantan suaminya tidur dengan temannya teman saya, saya juga nggak punya teman yang kerja jadi kurir narkotika, tapi saya punya banyak teman-teman perempuan yang merokok, yang minum-minum, yang suka clubbing, yang have sex sebelum menikah, yang lesbian, yang gay, yang broken home, dan tentu yang baik-baik (anak rumahan, pulang nggak lebih dari jam 10 malam, dokter, kerja di perusahaan besar, ta’aruf, dan lain-lain). Nggak semua orang punya teman yang baik dan buruk.

Banyak orang yang pilih-pilih, hanya mau berteman dengan orang yang menurut mereka baik-baik, supaya terbawa baik. Menurut picik saya (bukan hemat saya), teman yang baik-baik adalah palsu. Manusia nggak ada yang 100% baik. Hanya bagaimana kita menyikapi setiap individu lain yang berinteraksi dengan kita. Seburuk-buruknya teman, kalau kita memang bisa membatasi untuk ngga ikut buruknya, tentu kita nggak ikutan bagian buruknya. Sebaik-baiknya teman harus punya cela, untuk bisa saling memperbaiki. Adalah bullshit ketika seseorang selalu baik. Oh sungguh, bertemanlah dengan banyak tipe orang supaya nggak naif. Saya bukan sombong mau pamer punya banyak teman, tapi saya bersyukur. Saya bersyukur punya teman-teman yang baik dan buruk sifatnya. Mereka-mereka itu yang menjadi guru saya dalam hidup. Bagaimana menghargai perbedaan sifat. Bagaiamana menyikapi perbedaan gaya hidup. Bagaimana membatasi diri dengan segala perbedaan tersebut.

Bertemanlah sebanyak-banyaknya.

Buatlah hidup lebih berwarna.

Satu hal

Jangan pernah pilih-pilih teman, karena setiap orang dalam lingkungan kita adalah guru kehidupan.

1.23.2015

cho

Cho2, kita sudah nggak satu, tapi kamu terlalu banyak ada dalam hidup aku. Betapa sampai detik ini pun aku masih gagal untuk ngga mikirin kamu. Kenapa. Kenapa kamu terlalu ada, bahkan sampai saat ini. Betapa pikiran untuk bermasa depan sama kamu kadang masih mengusik, walaupun sedikit.
Cho, kamu mungkin benci aku, silahkan. Aku hampir benci kamu. Tapi kupikir, kenapa? Kenapa harus membenci laki2 yg luar biasa? Aku menyia-nyiakan kamu. Kamu pun. Tapi kita bukan menyia-nyiakan waktu, aku ngga akan pernah merasa rugi pernah punya 6 taun yang sangat berharga dalam hidup aku, ketika ada kamu. Walaupun gagal.

Aku sadar betul aku bukan memilih kamu, yah aku harap kamu pun benar2 mengejar cinta kamu yg baru. Lucu, kadang aku berharap kamu segera dapat perempuan yang jauh lebih baik dari aku. Tapi ketika aku tau kamu dekat dengan orang lain, ternyata rasanya sakit. Bodoh ya? Bodoh karena aku melepas kamu? Bukan. Bodoh karena aku masih punya rasa nggak rela ketika kamu dengan orang lain.
betapa aku berpindah ke lain hati tapi ternyata enggak. Aku kelewatan. Kamu ngga boleh tau tentang ini. Kamu pasti puas ketawain aku kalau tau aku masih cemburu. Haha.

Sungguh cho, kamu harus dapet perempuan yang benar2 baik, yang setia, yang bisa dampingi kamu selamanya, yang ngga menyerah akan kamu, yang bisa menyeimbangkan kamu, yang bisa jadi menantu yang baik buat mama bapak, jadi adik ipar yang baik untuk mba Tiwi dan aa, jadi tante yang baik buat Kakak Aline sama Ade Acha. Betapa aku kangen keluarga hangat kamu.

Selamat mengejar cinta baru cho, selamat memperbaiki diri masing-masing, kita sudah genap tanpa saling, kita sudah bukan "kita" lagi, tapi sepertinya aku akan sayang terus sama kamu, walaupun perwujudannya akan beda. Terima kasih :)

Seandainya boleh, rasanya aku ingin peluk kamu, terakhir kali.
kalau boleh.