9.14.2015

Paradoks

Hidup saya berubah. Kehidupan percintaan saya berubah total.
Oh ya jelas, karena orangnya juga berbeda.

Saya nggak benci, pun dendam. Saya nggak cinta lagi, pun berharap. Mungkin jadi membandingkan, tapi saya cuma sedang merasakan dan mensyukuri betapa berubahnya kehidupan saya sekarang.

Dulu, saya nggak tiap hari ketemu, tapi ketika bertemu, apa yang dibicarakan adalah hal-hal lain yang kadang diulang-ulang saja, bukan lagi tentang saya dan dia, bahkan terkadang blank mau membicarakan apa. Padahal ada hari-hari tanpa jumpa yang harusnya bisa berubah jadi kata-kata. Tapi ternyata tidak. Rasanya sudah tidak penting diceritakan karena rasanya akan menjadi tidak menarik untuk didengarkan. Selebihnya, hanya kecup, peluk, peluh, nafsu. Membinatang.

Sekarang, saya bisa bertemu setiap hari, dengan waktu yang rasanya selalu tidak cukup untuk berbincang. Benar-benar berbincang, bicara, tanpa dunia maya diantara saya dan dia. Bicara tentang dunia yang tidak hanya itu, bicara sesuatu yang sama-sama baru diketahui, tentang hari-hari pagi hingga sore hari. Bahkan saya merasa sangat baik-baik saja tanpa harus ada kecup, peluk, peluh, nafsu. Memanusia.

Dulu, terlalu banyak emosi dipendam. Merasa diacuhkan, merasa tak didengarkan, merasa tak diperhatikan, merasa tak dicinta sebagai manusia perempuan yang selayaknya. Pernahkah dia merasa begitu? Pernahkah dia berfikir bagaimana rasanya dirayu ketika nafsu, dicari ketika birahi, tetapi ketika tidak, didepak? Saya merasa sampah, seandainya dia tau. Oh enggak, saya menulis ini bukan karena saya sedang bahagia dengan yang baru lantas menjelekkan dia. Apa yang saya rasa ini, sudah berlangsung lama. Dan sekarang, dia masih saja begitu. Mencari ketika birahi. Tahik. Kenapa nggak dia cari saja masa kini-nya? kenapa harus berbalik pada saya? Apa saya di mata dia?

Sekarang, saya bisa mengekspresikan apapun. Senang, sedih, marah, kecewa. Saya merasa sangat disayang sebagai manusia perempuan yang selayaknya. Dia cari saya kapanpun, bukan hanya kalau sedang ada maunya. Selalu ada canda dibalik rayunya, nggak membosankan. Saya merasa berharga. Saya merasa dijaga dan dilindungi, bukan dieksplor, seandainya dia tau. Oh enggak, saya menulis ini bukan karena saya sedang bahagia lantas menjunjung dia. Apa yang saya rasa ini, sudah berlangsung lama. Dan sekarang, dia masih saja begitu. Menjaga, menyayang, melindungi, berbagi. Asik. Dan saya merasa dihargai dengan baik. Itu yang tak bisa ditampik.

Dulu, saya selalu gelisah ketika tak ada kabar barang sebentar. Rasanya bersalah sangat ketika lambat membalas pesan singkat.Saya hampir tak lepas dari telepon genggam, sepanjang hari.

Sekarang, saya biasa ditinggal berhari-hari tanpa kabar. Rasanya bahagia ketika tetiba ada pesan singkat. Saya bisa pergi tanpa membawa telepon genggam. Sepanjang hari. Saya merasa bebas.

Dulu, saya rasanya ragu mengungkap apa yang saya mimpikan. Rasanya sepeti ditentang. Rasanya semua dipertanyakan. Rasanya semua hanya bisa jadi angan-angan tanpa bisa jadi nyata.

Sekarang, saya rasanya ingin semua orang tau mimpi-mimpi saya. Rasanya diberi dukungan. Rasanya semua bisa digenggam. Rasanya semua bisa terwujud datu persatu menjadi nyata.  

Dulu, rasanya orang tua saya sangat ramah kepada dia, mengizinkan dia untuk ikut bergabung dalam acara keluarga. Rasanya selalu tak mengapa pulang tengah malam dengan dia.

Sekarang, rasanya orang tua saya ragu untuk ramah dengan dia, hanya dirumah saja kadang disinggung agar pulang. Rasanya baru jam 9 malam saja sudah disuruh pulang.

Dulu, tidak sedikit teman-teman yang bilang saya terlihat tidak bersemangat, terlihat suram, terlihat tertekan, dan jahat.

Sekarang, tidak sedikit teman-teman yang bilang saya terlihat lebih hidup, terlihat menjadi diri-sendiri, terlihat bebas, dan bahagia.

Semoga memang benar. Untuk bahagia, terkadang saya memang harus bersedih. Untuk bisa menjadi baik, harus tau dulu mana yang buruk. Untuk bisa menjadi lebih hidup, harus tau dulu rasanya terpuruk.