2.07.2015

teman

Saya terbiasa dengan lingkungan yang kalau kata orang “kota”. Saya tinggal di perumahan dari sepanjang yang saya mampu mengingat. Teman-teman saya di rumah semuanya sekolah, setidaknya sampai SMA, tapi sangat banyak yang sampai univesitas. Ya, mungkin belum ada yang sampai merasa S2 adalah sesuatu yang perlu. Tapi sepanjang yang saya tau, teman-teman saya di rumah juga anak-anak “kota”.

Saya sekolah SD yang jauh sekali dari rumah, di tengah kota, tapi nggak kota-kota amat. Bukan SD terpencil yang orang nggak tau, walaupun mungkin bukan yang terbaik. Teman-teman saya dari penjuru kota, banyak yang lebih kota tapi nggak sedikit yang nggak segitu kota-nya. Jaman SD, saya nggak membedakan teman, kecuali yang memang nyebelin atau yang memang jahatin saya dan teman dekat saya. Saya main lompat karet, saya main BP, saya main monopoli, saya main bola bekel, saya main congklak, saya main tamagochi (walaupun nggak punya), saya main PlayStation (dirumah tetangga), saya punya Nintendo di rumah, saya main ampar-ampar pisang, saya bahagia menjadi anak-anak pada masa itu. Saya nggak membedakan mana mainan kota dan mana mainan tradisional (apakah tradisional berarti nggak kota? Entahlah). 6 Tahun, kemudian teman-teman saya melanjutkan SMP. Sejauh dan sebanyak yang saya ingat, semua teman-teman saya melanjutkan SMP (semoga bener).

Saya sekolah SMP nggak jauh dari rumah. Kadang, ada persepsi yang menganggap sekolah dekat rumah berarti sekolahnya di kampong. Helloooo, rumahnya dimana dulu nih. Definisi dekatnya bagaimana? Rumah saya nggak pindah, tetap di perumahan, tapi sekolah saya daerahnya nggak jauh dari situ. Tetap kota, kalau boleh congkak. Salah satu sekolah favorit. Ya, mungkin 5 besar incaran anak-anak se Kota Bogor, atau mungkin 3 besar. Pada saat itu ya, entah sekarang, saya nggak update tentang sekolah SMP. Di sana saya mengenal lebih banyak unsur “kota” dari teman-teman satu sekolah. Handphone (itu 2005, masih belum terlalu banyak anak yang pegang handphone di sekolah) adalah trend yang kadang menandai bukan Cuma mana si kaya dan si biasa-biasa saja (nggak boleh bilang kalau orang itu miskin), tapi juga mana si gaul dan mana si kutu buku. Saya, tahun pertama sepertinya termasuk yang dipersepsikan orang sebagai kutu buku, padahal enggak, saya bukan kutu, Cuma suka buku. Banyak anak-anak yang mulai pacaran. Banyak kakak-kakak kelas yang bawa motor kadang, padahal masih cere. Banyak teman yang mulai jadi anak band. Ya, sewajarnya anak SMP lah. Saya juga mulai pacaran pas SMP, terus pacarnya tawuran, digampar guru olahraga di tengah lapangan. Hahaha malu-maluin. Mulai galau pas SMP karena mulai tau rasanya sayang sama orang lain dan rasanya ditinggal orang lain. Saya suka bawa Walkman (pemutar lagu yang pakai kaset) merk Sony ke sekolah. Gaul kan. Kasetnya Savage Garden, atau Linkin Park (pinjem punya temen) atau apa aja yang ada di rumah, punya kakak. Saya mulai gila basket sejak SMP. Saya sudah suka dari SD, tapi nggak ada lapangan, nggak ada ekskul untuk basket pas SD, makanya makin menjadi-jadi pas ikut ekskul. Tapi jangan kira saya jago. Haha enggak sama sekali! Yang jelas, setelah SMP, sebagian besar teman-teman saya juga melanjutkan ke SMA. Setau saya, hampir semuanya.

Saya sekolah di SMA yang jauh juga dari rumah. Ini lebih kota lagi, di tengah peradaban kota. Saya masuk SMA ini lewat jalur tes akselerasi, disuruh mama. Awalnya saya nggak mau, tapi disuruh coba terus, ya akhirnya mau nggak mau saya ikutan tesnya, dan lolos. Sama sekali nggak pernah terlintas kalau saya akan lolos tes akselerasi. Tau nggak kelas akselerasi itu apa? Kelas yang SMA-nya Cuma 2 tahun. Enak? Boleh sih bilang enak, kalau belum pernah nyoba belajar di dalamnya. Memadatkan materi 3 tahun untuk 2 tahun, gimana? Masih mau bilang enak? Haha. Saya mati-matian ngejar nilai, saya termasuk 5 terendah di kelas. Saya merasa nggak sanggup. Sungguh, anak-anak kelas akselerasi itu ajaib sekali pola pikirnya. Kapan-kapan saya ceritain yang lebih detail. Setelah 1 tahun, saya ternyata harus DO, alias Drop Out, karena nilai saya nggak memenui standar kelas yang nilainya di atas kelas regular. Saya pindah ke kelas regular. Ketemu teman-teman baru, ketemu teman SMP dulu, ketemu beberapa teman SD juga. Yang jelas, lingkungan SMA saya sangat kota, lebih kota dari 2 sekolah sebelumnya. Ya iyalah, namanya juga udah gede kan. Awal-awal saya rasanya kayak mengulang apa yang udah pernah saya dapat di kelas aksel, tapi lama-lama saya jadi anak malas. Saya terlalu pengen main. Saya lebih banyak pilih main basket. Saya sering keluar malam Minggu sama teman-teman aksel. Merokok, Nongkrong sampai pagi, pergi pakai mobil, nginep di rumah teman. Tapi hey, sebandel-bandelnya saya, saya nggak pernah minum minuman beralkohol ataupun make narkotika. Tapi saya mulai kecanduan merokok sejak SMA. Kata teman-teman dekat saya pas SMP, sekolah saya itu sekolah gaul. Entah apanya. Mungkin anak-anaknya. Mungkin gaya berpakaiannya (SMA saya terkenal rok-nya pendek-pendek dan bajunya ngetat-ngetat). Mungkin pergaulannya. Mungkin tongkrongannya. Mungkin karena banyak yang pakai mobil. Tapi nggak terkenal gaul karena pinternya. Hahaha. Saya nggak kenal satu angkatan. Bukan, bukan nggak kenal semuanya satu angkatan, tapi nggak semuanya saya kenal. Banyak yang saya tau, tapi saya selalu merasa mereka nggak tau saya. Karena saya nggak cukup gaul untuk dikenal di kalangan anak-anak gaul. Saya nggak tau apakah mayoritas pada lanjut kuliah atau malah justru lebih banyak yang nggak kuliah. Saya nggak tau. Yang pasti, saya termasuk yang kuliah.

Saya kuliah di pinggiran kota, tapi kampus terbaik di Kota Bogor, katanya. Ya pokoknya reputasinya selalu bagus di mata orang tua. Dan satu Indonesia pasti tau kampus saya (sombong!!) Namanya juga salag satu kampus tertua, dan namanya sangat familiar dimana-mana. Bahkan seperti ada prestis sendiri (buat segelintir orang, tapi kayaknya gelintiran besar) ketika menyebut mereka kuliah di mana. Saya? Biasa aja. Kampus saya memang berprestasi, terkenalm bereputasi baik sekali, sangat dipertimbangkan, disegani juga. Tapi saya, buat saya kampus ini ya kampus aja. Perkuliahan saya suram di tengah-tengah. Awal-awal seru, ya namanya jua lingkungan baru. Tahun 2010, 2011, 2012 adalah tahun-tahun suram dalam hidup saya, dalam hisup perkuliahan dan hisup percintaan saya. Drop point saya kalau boleh saya bilang. Drop dead. Hampir ingin bunuh diri. Untung saya masih pinteran dikit. See? Kampus yang diklaim terbaik nggak selalu membuat civitasnya merasa baik pula.  Tapi saya tau lingkungan saya adalah lingkungan yang sangat baik-baik. Teratur, rapi, santun, formal, sangat akademis. Saya terdidik juga dengan lingkungan seperti itu, walaupun lebih banyak nggak pedulinya. Tapi lingkungan kampus ini adalah lingkungan “terpelajar”. Lulus kuliah, saya masih bekerja di kampus, dengan lingkungan yang lebih formal.

Saya bekerja di rektorat kampus. Pernahkah terbayang, anak yang kuliahnya sering bolos, ujian aja lupa, sering kabur-kaburan, lulusnya telat, ipk nggak nyampe 2.5, sekarang jadi staff di rektorat. Di bawah pimpinan Wakil Rektor. Mondar mandir di rektorat. Harus bercengkrama dengan dosen-dosen dari banyak departemen dan fakultas. Bahkan harus mengunjungi instansi pemerintahan. Nggak, bukan Cuma instansi pemerintaha, tapi mengunjungi kementerian (ya bukan ketemu dengan Menteri siih). Membuat surat resmi, dengan kop surat universitas yang rasanya dulu sangat-sangat formal, sekarang jadi keseharian. Meminta tandatangan dosen aja dulu susah, sekarang bolak balik minta tanda tangan wakil rector, bahkan saya sendiri yang pakai langsung cap universitas untuk legalisir surat. Bahkan sekarang saya yang dicari dosen-dosen untuk memperlancar perizinan penelitian mereka. Betapa hidup nggak pernah terduga kan.

Tapi di luar sana, banyak teman-temannya teman-teman saya yang ternyata, mungkin, kurang beruntung. Atau apakah mereka lebih beruntung dari saya? Ya, seorang teman pernah bercerita kalau teman-teman SMP nya nggak ada yang bener. Ada yang jadi tukang parir, ada yang di Telkomsel, ada yang jadi kurir narkoba, ada yang hamil duluan, ada yang udah janda gara-gara suaminya tidur dengan perempuan lain yang juga temennya sendiri, ada yang di leasing, ada yang…ya banyak lah. Tapi mungin menurut beberapa bagian orang, pekerjaannya “nggak kota”. Kadang saya berfikir betapa sangat beruntungnya saya karena besar dan berkembang di lingkungan yang nggak seperti itu, lingkungan yang “baik-baik”.

Ah, tapi baik di mata setiap orang kan beda. Bisa jadi, sebenarnya, apa yang sekiranya baik adalah sebenarnya tidak lebih baik dari yang dipandang tidak baik. Teman mavam apapun yang kita punya adalah guru terbaik. Teman yang berkelakuan baik menjadi contoh, pun yang berkelakuan buruk, menjadi contoh untuk tidak dicontoh. Karena baik atau tidaknya sesuatu harus ada contohnya. Saya nggak bilang bahwa semua teman-teman saya adalah anak baik-baik, dari ligkungan “kota” yang modern. Kamu tahu, semakin modern manusia, kadang pergaulannya semakin mengerikan. Saya mungkin memang nggak punya teman yang sudah jadi janda karena mantan suaminya tidur dengan temannya teman saya, saya juga nggak punya teman yang kerja jadi kurir narkotika, tapi saya punya banyak teman-teman perempuan yang merokok, yang minum-minum, yang suka clubbing, yang have sex sebelum menikah, yang lesbian, yang gay, yang broken home, dan tentu yang baik-baik (anak rumahan, pulang nggak lebih dari jam 10 malam, dokter, kerja di perusahaan besar, ta’aruf, dan lain-lain). Nggak semua orang punya teman yang baik dan buruk.

Banyak orang yang pilih-pilih, hanya mau berteman dengan orang yang menurut mereka baik-baik, supaya terbawa baik. Menurut picik saya (bukan hemat saya), teman yang baik-baik adalah palsu. Manusia nggak ada yang 100% baik. Hanya bagaimana kita menyikapi setiap individu lain yang berinteraksi dengan kita. Seburuk-buruknya teman, kalau kita memang bisa membatasi untuk ngga ikut buruknya, tentu kita nggak ikutan bagian buruknya. Sebaik-baiknya teman harus punya cela, untuk bisa saling memperbaiki. Adalah bullshit ketika seseorang selalu baik. Oh sungguh, bertemanlah dengan banyak tipe orang supaya nggak naif. Saya bukan sombong mau pamer punya banyak teman, tapi saya bersyukur. Saya bersyukur punya teman-teman yang baik dan buruk sifatnya. Mereka-mereka itu yang menjadi guru saya dalam hidup. Bagaimana menghargai perbedaan sifat. Bagaiamana menyikapi perbedaan gaya hidup. Bagaimana membatasi diri dengan segala perbedaan tersebut.

Bertemanlah sebanyak-banyaknya.

Buatlah hidup lebih berwarna.

Satu hal

Jangan pernah pilih-pilih teman, karena setiap orang dalam lingkungan kita adalah guru kehidupan.