Saya terbiasa dengan lingkungan yang kalau kata orang
“kota”. Saya tinggal di perumahan dari sepanjang yang saya mampu mengingat.
Teman-teman saya di rumah semuanya sekolah, setidaknya sampai SMA, tapi sangat
banyak yang sampai univesitas. Ya, mungkin belum ada yang sampai merasa S2
adalah sesuatu yang perlu. Tapi sepanjang yang saya tau, teman-teman saya di
rumah juga anak-anak “kota”.
Saya sekolah SD yang jauh sekali dari rumah, di tengah kota,
tapi nggak kota-kota amat. Bukan SD terpencil yang orang nggak tau, walaupun
mungkin bukan yang terbaik. Teman-teman saya dari penjuru kota, banyak yang
lebih kota tapi nggak sedikit yang nggak segitu kota-nya. Jaman SD, saya nggak
membedakan teman, kecuali yang memang nyebelin atau yang memang jahatin saya
dan teman dekat saya. Saya main lompat karet, saya main BP, saya main monopoli,
saya main bola bekel, saya main congklak, saya main tamagochi (walaupun nggak
punya), saya main PlayStation (dirumah tetangga), saya punya Nintendo di rumah,
saya main ampar-ampar pisang, saya bahagia menjadi anak-anak pada masa itu.
Saya nggak membedakan mana mainan kota dan mana mainan tradisional (apakah
tradisional berarti nggak kota? Entahlah). 6 Tahun, kemudian teman-teman saya
melanjutkan SMP. Sejauh dan sebanyak yang saya ingat, semua teman-teman saya
melanjutkan SMP (semoga bener).
Saya sekolah SMP nggak jauh dari rumah. Kadang, ada persepsi
yang menganggap sekolah dekat rumah berarti sekolahnya di kampong. Helloooo,
rumahnya dimana dulu nih. Definisi dekatnya bagaimana? Rumah saya nggak pindah,
tetap di perumahan, tapi sekolah saya daerahnya nggak jauh dari situ. Tetap
kota, kalau boleh congkak. Salah satu sekolah favorit. Ya, mungkin 5 besar
incaran anak-anak se Kota Bogor, atau mungkin 3 besar. Pada saat itu ya, entah
sekarang, saya nggak update tentang sekolah SMP. Di sana saya mengenal lebih
banyak unsur “kota” dari teman-teman satu sekolah. Handphone (itu 2005, masih
belum terlalu banyak anak yang pegang handphone di sekolah) adalah trend yang
kadang menandai bukan Cuma mana si kaya dan si biasa-biasa saja (nggak boleh
bilang kalau orang itu miskin), tapi juga mana si gaul dan mana si kutu buku.
Saya, tahun pertama sepertinya termasuk yang dipersepsikan orang sebagai kutu
buku, padahal enggak, saya bukan kutu, Cuma suka buku. Banyak anak-anak yang
mulai pacaran. Banyak kakak-kakak kelas yang bawa motor kadang, padahal masih
cere. Banyak teman yang mulai jadi anak band. Ya, sewajarnya anak SMP lah. Saya
juga mulai pacaran pas SMP, terus pacarnya tawuran, digampar guru olahraga di
tengah lapangan. Hahaha malu-maluin. Mulai galau pas SMP karena mulai tau
rasanya sayang sama orang lain dan rasanya ditinggal orang lain. Saya suka bawa
Walkman (pemutar lagu yang pakai kaset) merk Sony ke sekolah. Gaul kan.
Kasetnya Savage Garden, atau Linkin Park (pinjem punya temen) atau apa aja yang
ada di rumah, punya kakak. Saya mulai gila basket sejak SMP. Saya sudah suka
dari SD, tapi nggak ada lapangan, nggak ada ekskul untuk basket pas SD, makanya
makin menjadi-jadi pas ikut ekskul. Tapi jangan kira saya jago. Haha enggak
sama sekali! Yang jelas, setelah SMP, sebagian besar teman-teman saya juga
melanjutkan ke SMA. Setau saya, hampir semuanya.
Saya sekolah di SMA yang jauh juga dari rumah. Ini lebih
kota lagi, di tengah peradaban kota. Saya masuk SMA ini lewat jalur tes
akselerasi, disuruh mama. Awalnya saya nggak mau, tapi disuruh coba terus, ya
akhirnya mau nggak mau saya ikutan tesnya, dan lolos. Sama sekali nggak pernah
terlintas kalau saya akan lolos tes akselerasi. Tau nggak kelas akselerasi itu
apa? Kelas yang SMA-nya Cuma 2 tahun. Enak? Boleh sih bilang enak, kalau belum
pernah nyoba belajar di dalamnya. Memadatkan materi 3 tahun untuk 2 tahun,
gimana? Masih mau bilang enak? Haha. Saya mati-matian ngejar nilai, saya
termasuk 5 terendah di kelas. Saya merasa nggak sanggup. Sungguh, anak-anak
kelas akselerasi itu ajaib sekali pola pikirnya. Kapan-kapan saya ceritain yang
lebih detail. Setelah 1 tahun, saya ternyata harus DO, alias Drop Out, karena
nilai saya nggak memenui standar kelas yang nilainya di atas kelas regular. Saya
pindah ke kelas regular. Ketemu teman-teman baru, ketemu teman SMP dulu, ketemu
beberapa teman SD juga. Yang jelas, lingkungan SMA saya sangat kota, lebih kota
dari 2 sekolah sebelumnya. Ya iyalah, namanya juga udah gede kan. Awal-awal
saya rasanya kayak mengulang apa yang udah pernah saya dapat di kelas aksel,
tapi lama-lama saya jadi anak malas. Saya terlalu pengen main. Saya lebih
banyak pilih main basket. Saya sering keluar malam Minggu sama teman-teman
aksel. Merokok, Nongkrong sampai pagi, pergi pakai mobil, nginep di rumah
teman. Tapi hey, sebandel-bandelnya saya, saya nggak pernah minum minuman
beralkohol ataupun make narkotika. Tapi saya mulai kecanduan merokok sejak SMA.
Kata teman-teman dekat saya pas SMP, sekolah saya itu sekolah gaul. Entah apanya.
Mungkin anak-anaknya. Mungkin gaya berpakaiannya (SMA saya terkenal rok-nya
pendek-pendek dan bajunya ngetat-ngetat). Mungkin pergaulannya. Mungkin
tongkrongannya. Mungkin karena banyak yang pakai mobil. Tapi nggak terkenal
gaul karena pinternya. Hahaha. Saya nggak kenal satu angkatan. Bukan, bukan
nggak kenal semuanya satu angkatan, tapi nggak semuanya saya kenal. Banyak yang
saya tau, tapi saya selalu merasa mereka nggak tau saya. Karena saya nggak
cukup gaul untuk dikenal di kalangan anak-anak gaul. Saya nggak tau apakah
mayoritas pada lanjut kuliah atau malah justru lebih banyak yang nggak kuliah.
Saya nggak tau. Yang pasti, saya termasuk yang kuliah.
Saya kuliah di pinggiran kota, tapi kampus terbaik di Kota
Bogor, katanya. Ya pokoknya reputasinya selalu bagus di mata orang tua. Dan
satu Indonesia pasti tau kampus saya (sombong!!) Namanya juga salag satu kampus
tertua, dan namanya sangat familiar dimana-mana. Bahkan seperti ada prestis
sendiri (buat segelintir orang, tapi kayaknya gelintiran besar) ketika menyebut
mereka kuliah di mana. Saya? Biasa aja. Kampus saya memang berprestasi,
terkenalm bereputasi baik sekali, sangat dipertimbangkan, disegani juga. Tapi
saya, buat saya kampus ini ya kampus aja. Perkuliahan saya suram di
tengah-tengah. Awal-awal seru, ya namanya jua lingkungan baru. Tahun 2010,
2011, 2012 adalah tahun-tahun suram dalam hidup saya, dalam hisup perkuliahan
dan hisup percintaan saya. Drop point saya kalau boleh saya bilang. Drop dead.
Hampir ingin bunuh diri. Untung saya masih pinteran dikit. See? Kampus yang
diklaim terbaik nggak selalu membuat civitasnya merasa baik pula. Tapi saya tau lingkungan saya adalah
lingkungan yang sangat baik-baik. Teratur, rapi, santun, formal, sangat
akademis. Saya terdidik juga dengan lingkungan seperti itu, walaupun lebih
banyak nggak pedulinya. Tapi lingkungan kampus ini adalah lingkungan
“terpelajar”. Lulus kuliah, saya masih bekerja di kampus, dengan lingkungan
yang lebih formal.
Saya bekerja di rektorat kampus. Pernahkah terbayang, anak
yang kuliahnya sering bolos, ujian aja lupa, sering kabur-kaburan, lulusnya
telat, ipk nggak nyampe 2.5, sekarang jadi staff di rektorat. Di bawah pimpinan
Wakil Rektor. Mondar mandir di rektorat. Harus bercengkrama dengan dosen-dosen
dari banyak departemen dan fakultas. Bahkan harus mengunjungi instansi
pemerintahan. Nggak, bukan Cuma instansi pemerintaha, tapi mengunjungi
kementerian (ya bukan ketemu dengan Menteri siih). Membuat surat resmi, dengan
kop surat universitas yang rasanya dulu sangat-sangat formal, sekarang jadi
keseharian. Meminta tandatangan dosen aja dulu susah, sekarang bolak balik
minta tanda tangan wakil rector, bahkan saya sendiri yang pakai langsung cap
universitas untuk legalisir surat. Bahkan sekarang saya yang dicari dosen-dosen
untuk memperlancar perizinan penelitian mereka. Betapa hidup nggak pernah
terduga kan.
Tapi di luar sana, banyak teman-temannya teman-teman saya
yang ternyata, mungkin, kurang beruntung. Atau apakah mereka lebih beruntung
dari saya? Ya, seorang teman pernah bercerita kalau teman-teman SMP nya nggak
ada yang bener. Ada yang jadi tukang parir, ada yang di Telkomsel, ada yang
jadi kurir narkoba, ada yang hamil duluan, ada yang udah janda gara-gara
suaminya tidur dengan perempuan lain yang juga temennya sendiri, ada yang di
leasing, ada yang…ya banyak lah. Tapi mungin menurut beberapa bagian orang,
pekerjaannya “nggak kota”. Kadang saya berfikir betapa sangat beruntungnya saya
karena besar dan berkembang di lingkungan yang nggak seperti itu, lingkungan
yang “baik-baik”.
Ah, tapi baik di mata setiap orang kan beda. Bisa jadi,
sebenarnya, apa yang sekiranya baik adalah sebenarnya tidak lebih baik dari
yang dipandang tidak baik. Teman mavam apapun yang kita punya adalah guru
terbaik. Teman yang berkelakuan baik menjadi contoh, pun yang berkelakuan
buruk, menjadi contoh untuk tidak dicontoh. Karena baik atau tidaknya sesuatu
harus ada contohnya. Saya nggak bilang bahwa semua teman-teman saya adalah anak
baik-baik, dari ligkungan “kota” yang modern. Kamu tahu, semakin modern
manusia, kadang pergaulannya semakin mengerikan. Saya mungkin memang nggak
punya teman yang sudah jadi janda karena mantan suaminya tidur dengan temannya
teman saya, saya juga nggak punya teman yang kerja jadi kurir narkotika, tapi
saya punya banyak teman-teman perempuan yang merokok, yang minum-minum, yang
suka clubbing, yang have sex sebelum menikah, yang lesbian, yang gay, yang
broken home, dan tentu yang baik-baik (anak rumahan, pulang nggak lebih dari
jam 10 malam, dokter, kerja di perusahaan besar, ta’aruf, dan lain-lain). Nggak
semua orang punya teman yang baik dan buruk.
Banyak orang yang pilih-pilih, hanya mau berteman dengan
orang yang menurut mereka baik-baik, supaya terbawa baik. Menurut picik saya
(bukan hemat saya), teman yang baik-baik adalah palsu. Manusia nggak ada yang
100% baik. Hanya bagaimana kita menyikapi setiap individu lain yang
berinteraksi dengan kita. Seburuk-buruknya teman, kalau kita memang bisa
membatasi untuk ngga ikut buruknya, tentu kita nggak ikutan bagian buruknya.
Sebaik-baiknya teman harus punya cela, untuk bisa saling memperbaiki. Adalah
bullshit ketika seseorang selalu baik. Oh sungguh, bertemanlah dengan banyak
tipe orang supaya nggak naif. Saya bukan sombong mau pamer punya banyak teman,
tapi saya bersyukur. Saya bersyukur punya teman-teman yang baik dan buruk
sifatnya. Mereka-mereka itu yang menjadi guru saya dalam hidup. Bagaimana
menghargai perbedaan sifat. Bagaiamana menyikapi perbedaan gaya hidup. Bagaimana
membatasi diri dengan segala perbedaan tersebut.
Bertemanlah sebanyak-banyaknya.
Buatlah hidup lebih berwarna.
Satu hal
Jangan pernah pilih-pilih teman, karena setiap orang dalam
lingkungan kita adalah guru kehidupan.